Senin, 01 September 2008

Gawat, kondisi batas Indonesia-Malaysia

World Vision Indonesia mengundang wartawan dan pejabat pemerintah pusat untuk meninjau program kerja Wahana Visi Indonesia mitra kerja lembaga swadaya masyarakat asing itu di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kab. Sambas, Kalimantan Barat, pekan lalu. Berikut laporannya:

SAMBAS, Kalbar: “Kami baru merasa merdeka dua tahun ini,” kata Usman, camat Sajingan Besar, Kab. Sambas, Kaltim.

Mengapa dia bilang begitu? Ya, karena dia bersama 8.000 warganya tak mendapatkan hak layaknya warga Indonesia yang sudah merdeka. Baru dua tahun lalu ada jalan yang menghubungi wilayahnya ke kota Sambas.

Itu pun jalan tanah yang berliku dan penuh lubang. Jarak tempuh sepanjang 82 km itu perlu makan waktu lima jam dengan kendaraan roda empat.

Padahal, Sajingan Besar memiliki makna strategis karena berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia, tepatnya di Kampung Biawak, Lundu, sehingga warganya lebih mudah ke kota negara tetangga itu. Akibat miskinnya insfrastruktur, produk Malaysia lebih akrab di warga kecamatan di tengah hutan itu.

Jalan yang tengah dibangun ini berujung di pos lintas batas (PLB) Indonesia-Malaysia yang akan dilengkapi dengan pos pemeriksaan lintas batas (PPLB).

Kondisi warga di sini merana, anak-anak terpaksa bekerja di hutan karet, atau jadi pelacur di Malaysia. Fasilitas sekolah minim, kesehatan buruk dan keluarga umumnya hidup akrab dalam kemiskinan.

Itulah sebabnya Word Vision Indonesia melalui mitra lokalnya Wahana Visi Indonesi memilih kecamatan ini menjadi arena development program (ADP) yang merupakan proyek pengembangan masyarakat jangka panjang.

Katarina Hardono, Direktur Word Vision Indonesia, mengatakan bahwa lembaganya memang fokus dalam bidang pengembangan masyarakat, tanggap bencana, kesehatan dan pendidikan, peningkatan ekonomi rumah tangga serta advokasi. Kec. Sajingan Besar dipilih karena memang miskin, anak-anak tak bersekolah dan lingkungan kurang sehat.

Menoreh karet
Penuturan Yeni, Ketua Forum Anak Sajingan Besar yang dibina oleh WVI, mencuatkan fakta kemiskinan itu.� Dia bersama teman-temannya harus menoreh batang karet selama enam jam sehari setiap kali libur sekolah untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga.

Begitu pun yang dikemukakan oleh Modesta Endah. Warga di sini, katanya, hanya menikmati listrik hanya 12 jam. Agus Andreas mengeluhkan tak ada pepustakaan dan jumlah guru kurang karena satu orang mengajar empat mata pelajaran.

Adiana, 15, yang baru kelas 3 SMP, berharap agar Presiden SBY agar memberikan pendidikan gratis karena saat ini kalau mau masuk harus bayar Rp100.000.

Johny Parman, anggota Forum Anak Sajingan Besar lainnya, mengatakan bahwa manfaat pelatihan yang digelar WVI adalah dia menjadi tahu tentang hak-hak anak sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2002 yang a.l. mengatur tentang hak-hak anak mengenai pendidikan, perlindungan dari kekerasan, hak kesehatan dan hak kebebasan berekspresi.

Bagaimana melepaskan diri dari kemiskinan itu? Menurut Usman, yang perlu menjadi prioritas adalah pembangunan infrastruktur dan listrik. Dari jalan ini diharapkan ekonomi akan tumbuh sehingga warga terlepas dari kemiskinan.

Dalam dua tahun ini memang tengah dibangun jalan yang menghubungkan Kab. Sambas dengan Negara Bagian Serawak. Di sini akan dibangun border (perbatasan) yang dilengkapi dengan Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) seperti yang telah ada� di Entikong, di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Usman berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan perbatasan kedua negara itu pada tahun depan. Ini penting, katanya, agar Indonesia tidak kecolongan karena Malaysia ingin memperluas wilayah, sementara tak semua wilyah perbatasan dihuni oleh penduduk.

Menurut dia, yang menjadi prioritas adalah membangun sumber daya manusianya. “Jangan kirim TNI lagi tapi aparat pemerintah daerah yang harus terus dibina.”

Dia juga meminta agar pemerintah pusat membuat kebijakan tentang paspor gratis bagi penduduk di perbatasan, pendidikan yang lebih memadai guna meningkatkan nasionalisme NKRI.

Di bawah Malaysia
Ironisnya, di wilayah strategis ini, pengamanan dipimpin Malaysia di bawah komando Kapten Musali, 25, yang mengerahkan pasukan 20 orang. Sebaliknya, Indonesia hanya 10 orang dan di bawah pimpinan seorang tentara berpangkat letnan satu.

“Tugas kami di sini hanya ronda-ronda [patroli]. Mereka [tentara Indonesia] di bawah komando saya,” kata Musali.

Di perbatasan lain, katanya, tentara Indonesia yang menjadi pimpinan pasukan di wilayah perbatasan.

Melihat fakta di perbatasan negara memang mengkhawatirkan. Jika terjadi perang, Malaysia bisa langsung mengerahkan pasukan lewat darat di perbatasan. Sebaliknya, pasukan Indonesia harus menempuh 82 km dari kota Sambas.

Keluhan soal perbatasan negara bukan hanya datang dari rakyat kecil di pinggir hutan, tapi juga hingga Bupati Sambas Burhanuddin A. Rasyid. “Sangat sulit menjaga perbatasan. Sejumlah persoalan mulai dari politik, ekonomi sampai soal sosial terus mengganjal. Berbeda dengan kabupaten lainnya.”

Hasanusi, Kepala Bappeda Kab. Sambas, menilai pemerintah pusat tidak serius mengurus wilayah perbatasan. “Hanya malaikat yang belum berkunjung ke sini [wilayah perbatasan] tapi belum ada perubahan,” katanya kesal.

Maksudnya, telah banyak pejabat dari pemerintah pusat yang datang, tapi belum ada perubahan yang berarti.

Menurut dia, tidak ada batas yang jelas membuat repot pemerintah daerah setempat. Lebih repot lagi, katanya, di perbatasan laut karena jika kapal selam yang masuk, “siapa yang tahu?”

Lagi pula, katanya, pengawasan relatif lemah sehingga jika ada pencuri tak ada yang mengawasi. Berbeda dengan Malaysia yang memiliki hutan lindung untuk menjaga perkebunan mereka di perbatasan.

Harapan dibangunnya jalan beraspal bukan berarti solusi tanpa melahirkan masalah. Untung Sidupa, Manajer WVI Kalbar, memandang dari sudut lain. Jika jalan selesai dibangun maka produk mentah Indonesia akan cepat mengalir ke Malaysia.

Warga setempat, katanya, tak bisa menikmati kue pembangunan ekonomi. Indonesia menjual bahan baku mentah yang murah, sementara Malaysia menikmati keuntungan besar karena mampu mengolah menjadi produk jadi baik itu karet, kayu atau pun sawit yang dimiliki warga Sambas.

Untuk itu, katanya, pendidikan menjadi prioritas bagi masyarakat. Sayangnya, proses penyadaran akan pentingnya pendidikan bagi mayoritas penduduk begitu sulit. Mereka lebih suka anak-anaknya bekerja ketimbang harus menuntut ilmu di bangku sekolah.

Menurut Untung, pribahasa setempat “Sekolah, tidak sekolah makan cukup satu mangkuk” menjadi acuan bagi sebagian besar warga setempat. Padahal, katanya, jika mereka sekolah maka isi mangkuk itulah yang berbeda. (lahyanto.nadie@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar: